Minggu, 27 Oktober 2013

IMUNOLOGI TUMOR


IMUNOLOGI TUMOR


I. PENDAHULUAN
Telah diketahui bahwa proliferasi dan maturasi atau diferensiasi sel normal diatur secara ketat oleh sejumlah proto-onkogen yang merangsang pertumbuhan dan berbagai anti-onkogen atau gen supresor tumor yang menghambat pertumbuhan. Aktivasi proto-onkogen secara berlebihan dapat terjadi melalui perubahan struktur gen, translokasi kromosom, peningkatan ekspresi gen atau mutasi pada elemen-elemen yang mengontrol ekspresi gen bersangkutan. Mutasi demikian sering tampak pada sel-sel yang berproliferasi secara aktif. Proliferasi berlebihan dapat dicegah oleh gen supresor yang menghambat pertumbuhan, namun inaktivasi dan/atau mutasi gen supresor menyebabkan hilangnya fungsi supresi pertumbuhan. Amplifikasi onkogen dan/atau inaktivasi gen supresor yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel mengakibatkan hilangnya kontrol pertumbuhan dengan risiko terjadinya transformasi ganas. Perubahan genetik ini menghasilkan populasi sel dengan sifat-sifat pertumbuhan tidak terkendali, yang merupakan ciri-ciri sel kanker dan memiliki kemampuan menginvasi jaringan normal di sekitarnya serta kemampuan bermetastasis dan tumbuh di tempat yang letaknya jauh dari jaringan asal.
            Di samping mengekspresikan molekul-molekul yang menentukan sifat ganas, sel-sel kanker juga menunjukkan disregulasi gen yang produknya tidak secara langsung berhubungan dengan sifat pertumbuhan dan sifat invasif sel. Disregulasi genetik itu di antaranya menyebabkan perubahan ekspresi berbagai molekul permukaan, gangguan transkripsi dan translasi berbagai molekul protein intraseluler maupun berbagai substansi yang disekresikan, sehingga sel atau jaringan tumor yang pada dasarnya berasal dari jaringan sendiri, menjadi asing atau imunogenik. Karena itu, sebenarnya sistem imun yang normal harus mampu mengenali sel-sel abnormal tersebut dan memusnahkannya. Fungsi sistem imun adalah fungsi protektif dengan mengenal dan menghancurkan sel-sel abnormal itu sebelum berkembang menjadi tumor atau membunuhnya kalau tumor itu sudah tumbuh. Peran sistem imun ini disebut immune surveillance. Beberapa bukti yang mendukung bahwa ada peran sistem imun dalam melawan tumor ganas diperoleh dari beberapa penelitian, di antaranya yang mendukung teori itu adalah: (1) banyak tumor  mengandung infiltrasi sel-sel mononuklear yang terdiri dari sel T, sel NK, dan makrofag; (2) tumor dapat mengalami regresi secara spontan; (3) tumor lebih sering berkembang pada individu dengan imunodefisiensi atau bila fungsi sistem imun tidak efektif, bahkan imunosupresi seringkali mendahului pertumbuhan tumor; (4) di lain pihak, tumor seringkali menyebabkan imunosupresi pada penderita. Bukti lain yang juga mendukung bahwa tumor dapat merangsang sistem imun adalah ditemukannya limfosit berproliferasi dalam kelenjar getah bening yang merupakan draining sites dari pertumbuhan tumor disertai peningkatan ekspresi MHC (major histocompatibility complex) dan ICAM (intercellular adhesion molecule) yang mengindikasikan sistem imun yang aktif. Walaupun diyakini bahwa sistem imun dapat memberikan respon terhadap pertumbuhan tumor ganas, pada kenyataannya banyak tumor ganas yang tetap bisa tumbuh karena immune surveillance terhadap tumor ganas ini relatif tidak efektif. Pengetahuan tentang peran sistem imun spesifik maupun non spesifik dalam mencegah pertumbuhan tumor spontan dan bagaimana memodulasinya diduga akan memegang peran penting di kemudian hari dalam meningkatkan surveillance terhadap tumor, menginduksi resistensi terhadap sisa sel ganas dan kekambuhan tumor, menghambat perkembangan tumor selanjutnya, dan dalam menentukan jenis pengobatan.

II. IMUNOLOGI UMUM
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan kita. Pertahanan tersebut terdiri atas sistem imun spesifik (adaptive/acquired) dan non-spesifik (natural/innate). Respon imun spesifik tergantung pada adanya pemaparan benda asing, pengenalan, kemudian reaksi terhadapnya. Sebaliknya, respon imun non-spesifik terjadi sesudah pemaparan insial dan pemaparan lanjutan terhadap benda asing. Kemudian terjadi diferensiasi selektif self dan non-self di mana respon non-spesifik ini tidak tergantung pada pengenalan spesifik. Respon imunologik menjalankan tiga fungsi yaitu pertahanan, homeostasis, dan pengawasan.
            Fungsi pertama sistem imun adalah pertahanan melawan invasi mikroorganisme yang telah mengisi renungan ahli imunologi lebih dari 100 tahun yang lalu. Jika elemen pertahanan seluler berhasil menyebar, maka hospes akan muncul sebagai pemenang dalam perjuangan melawan mikroorganisme. Akan tetapi, apabila elemen-elemen ini hipraktif, tanda-tanda tertentu yang tidak diinginkan seperti alergi dan hipersensitifitas akan muncul. Sebaliknya, apabila elemen-elemen ini hipoaktif, kerentanan terhadap infeksi ulang akan bertambah seperti terlihat pada penyakit defisiensi imun.
            Fungsi kedua sistem imun adalah homeostasis. Homeostasis ini mempertahankan fungsi degenerasi dan katabolik normal dari isi tubuh dengan pembersihan elemen-elemen sel yang rusak seperti eritrosit dan lekosit dalam sirkulasi. Elemen-elemen sel ini mungkin rusak selama perjalanan hidup normal atau sebagai akibat yang merugikan. Contoh penyimpangan homeostasis adalah penyakit autoimun di mana mekanisme homeostasis pada penyakit ini terlalu ditingkatkan.
            Fungsi ketiga dari sistem imun adalah fungsi pengawasan diri (surveillance). Fungsi pengawasan ini memonitor pengenalan jenis-jenis sel abnormal yang secara tetap selalu timbul dalam tubuh. Sel-sel mutant ini dapat terjadi secara spontan atau disebabkan oleh pengaruh virus-virus tertentu atau zat-zat kimia. Sistem imun diberi tugas pengenalan dan pembuangan benda-benda baru yang didapat, yang sebagian besar dari tugas ini terjadi di permukaan sel. Kegagalan mekanisme ini ditetapkan sebagai penyebab utama perkembangan penyakit-penyakit neoplasma.

II.1. SISTEM IMUN NON-SPESIFIK
Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam mengahadapi serangan berbagai mikroorganisme karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen. Namun, sistem imun non-spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Sistem tersebut disebut non-spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Sistem imun tersebut sudah ada dan siap berfungsi sejak lahir yang berupa permukaan tubuh dan berbagai komponen dalam tubuh. Komponen-komponen sistem imun non-spesifik dapat dibagi menjadi:
A.    Pertahanan fisik/mekanik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik termasuk kulit, selaput lendir, silia saluran nafas, batuk atau bersin, akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen ke dalam tubuh. Kulit atau selaput lendir yang rusak akan meninggikan risiko infeksi.
B.     Pertahanan biokimiawi
Kebanyakan mikroorganisme tidak dapat menembus kulit yang sehat. Beberapa mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh melalui kelenjar sebaseus dan folikel rambut. Derajat keasaman dari keringat dan sekresi sebaseus serta berbagai asam lemak dan enzim yang mempunyai efek antimikrobial dapat mengurangi kemungkinan infeksi melalui kulit. Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas dan telinga berperan pula dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. Lisosim dalam keringat, air ludah, air mata, dan air susu melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif karena dapat mengahancurkan dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E. coli dan stafilokokus.
Asam hidroklorida dalam lambung, asam proteolitik, dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi mikroorganisme. Demikian pula pH yang rendah dari vagina dan juga spermin dalam semen dapat mencegah tumbuhnya beberapa mikroorganisme. Berbagai bahan yang dilepaskan oleh lekosit dan lisosim yang dilepaskan oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram negatif. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk hidup kuman pseudomonas.
C.    Pertahanan humoral
Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada pertahanan humoral. Bahan-bahan tersebut adalah:
      C.1. Komplemen
Komplemen berperan meningkatkan fagositosis dan mempermudah penghancuran bakteri dan parasit oleh karena:
·         Komplemen dapat mengancurkan membran sel banyak bakteri.
·         Komplemen dapat melepaskan bahan kemotaktik yang mengerahkan makrofag ke tempat bakteri.
·         Komponen komplemen lain yang mengendap pada permukaan bakteri mempermudah makrofag mengenal dan menghancurkannya.
Kejadian-kejadian tersebut merupakan fungsi imun non-spesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respon imun spesifik.
                        C.2. Interferon
Interferon adalah glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat anti virus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga menjadi resisten terhadap virus. Di samping itu, interferon juga dapat mengaktifkan sel NK (natural killer). Sel yang terinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.
                        C.3. C reactive protein (CRP)
C ractive protein (CRP) dibentuk oleh tubuh dalam keadaan infeksi. Peranannya sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 kali atau lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut. CRP berperan pada imunitas non-spesifik karena dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
D.    Pertahanan seluler
Komponen sistem imun yang berperanan dalam sistem imun non-spesifik seluler adalah fagosit, makrofag, dan sel NK.
      D.1. Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, sel utama yang berperanan dalam pertahanan non-spesifik adalah sel-sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit. Kedua sel tersebut tergolong fagosit dan berasal dari sel asal hemopoetik.
Granulosit hidup pendek dan mengandung granul yang berisikan enzim hidrolitik. Beberapa granul berisikan pula laktoferin yang bersifat bakterisidal. Fagositosis yang efektif pada invasi kuman dini akan dapat mencegah timbulnya penyakit. Dalam kerjanya, sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat, yaitu: kemotaksis, menangkap, memakan (fagositosis), membunuh, dan mencerna.
Sel fagosit bergerak ke tempat mikroorganisme, kemudian mengikatnya melalui reseptor non-spesifik. Bila mikroorganisme diikat dahulu oleh C3b (opsosin) selanjutnya akan lebih mudah diikat oleh fagosit melalui reseptor C3b. Bila mikroorganisme sudah berada di dalam sel, lisosom bergabung dengan fagosom membentuk fagolisosom dan selanjutnya mikroorganisme dapat dibunuh dengan mekanisme mikrobisidal.
Kemotaksis adalah gerakan fagosit ke tempat infeksi sebagai respon terhadap berbagai faktor seperti produk bakteri dan faktor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen. Jaringan yang rusak atau mati dapat pula melepaskan faktor kemotaktik. Sel polimorfonuklear bergerak cepat dan sudah berada di tempat infeksi dalam 2-4 jam, sedangkan monosit bergerak lebih lambat dan memerlukan waktu 7-8 jam untuk sampai di tempat tujuan.
Antibodi, seperti halnya dengan komplemen (C3b) dapat meningkatkan fagositosis melalui opsonisasi. Antigen yang diikat antibodi akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari imunoglobulin pada permukaan fagosit.
Destruksi mikroorganisme intraseluler terjadi oleh karena di dalam sel fagosit, monosit, dan polimorfonuklear terdapat berbagai bahan antimikrobial seperti lisosom, hidrogen peroksida, dan mieloperoksidase. Tingkat akhir fagositosis adalah pencernaan protein, polisakarida, lipid, dan asam nukleat di dalam sel oleh lisosom. Sel polimorfonuklear lebih sering ditemukan pada inflamasi akut, sedangkan monosit pada inflamasi kronik.
                        D.2. Makrofag
Makrofag dapat hidup lama, mempunyai beberapa granul, dan melepaskan berbagai bahan antara lain lisozim, komplemen, dan interferon yang semuanya memberikan kontribusi dalam pertahanan non-spesifik
                        D.3. Sel NK
Di dalam tubuh ditemukan populasi limfosit  yang digolongkan sebagai sel NK dan antibody dependent killer cell yang berfungsi dalam pengawasan tumor tertentu dan infeksi virus. Kebanyakan sel NK berupa large granular lymphocyte (LGL). Membran sel tersebut menunjukkan ciri-ciri antara sel limfosit dan monosit. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma dan interferon mempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan  dan efek sitolitik sel NK.

II.2. SISTEM IMUN SPESIFIK
Berbeda dengan sistem imun non-spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenali oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Jika sel sistem imun tersebut terpapar kembali dengan benda asing yang sama. Benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Karena sistem tersebut hanya dapat menghancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, sistem imun itu disebut spesifik. Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non-spesifik untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, tetapi pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi-komplemen-fagosit dan antara sel T makrofag.

A.    Sistem imun spesifik humoral
Yang berperanan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. sel B berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas, sel yang disebut bursa cell atau sel B akan bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi sel B yang matang dalam alat yang disebut bursa fabricus yang terletak dekat kloaka. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi virus, bakteri ekstraseluler, dan menetralisir toksinnya.

B.     Sistem imun spesifik seluler
Yang berperanan dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit T atau sel T. sel tersebut juga berasal dari asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa sel T dibentuk di dalam sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya di dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor yang berasal dari timus. Sebesar 90-95% dari semua sel timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan meninggalkan timus masuk ke dalam sirkulasi.
Faktor timus yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat memberikan pengaruhnya terhadap diferensiasi sel T di perifer. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa jenis sel dengan fungsi yang berlainan. Fungsi utama sistem imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan.
Gambar 1. Mekanisme imunitas alamiah/innate/non-spesifik memulai perlawanan terhadap infeksi. Imunitas didapat/acquired/spesifik berkembang kemudian dan mengandung limfosit. Aktifitas respon imun alami dan didapat bervariasi pada berbagai bentuk infeksi, termasuk terhadap tumor.

III. IMMUNE SURVEILLANCE
Konsep immune surveillance dikembangkan pertama kali oleh Paul Ehrlich pada awal abad ke-20 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Burnet dan Thomas pada tahun 1950 dan 1960-an. Konsep itu menyatakan bahwa sistem imun mempunyai peran mencegah dan membatasi pertumbuhan tumor. Bila konsep immune surveillance itu benar, maka sel-sel efektor seperti limfosit B, T-helper, T-sitotoksik, dan sel NK harus mampu mengenal antigen tumor dan memperantarai kematian sel-sel tumor. Walaupun hanya ada sedikit bukti langsung bahwa immune surveillance dapat melindungi seseorang terhadap pertumbuhan tumor, beberapa hasil penelitian mendukung teori tersebut. Seperti telah diuraikan di atas, individu dengan immunodefisiensi lebih peka terhadap pertumbuhan tumor, adanya infiltrasi limfosit dalam jaringan tumor dan tumor dapat membangkitkan respon imun seluler. Selanjutnya, telah terbukti bahwa tumor dapat membangkitkan respon imun seluler spesifik, dan bahwa antigen tumor yang dapat dikenal oleh sel T-sitotoksik melalui MHC kelas I diidentifikasi sebagai protein seluler yang diekspresikan secara abnormal atau protein mutant. Penemuan ini mendukung dugaan bahwa fungsi sel T-sitotoksik adalah surveillance dan menghancurkan sel yang mengandung gen mutant yang dapat menyebabkan atau diasosiasikan dengan tumor ganas.
            Dari berbagai indikasi di atas, disusun hipotesis yang menyatakan bahwa: (1) sel-sel tumor mempunyai struktur permukaan yang dapat dikenal oleh satu atau lebih efektor sistem imun; (2) sel-sel tumor peka terhadap lisis atau hambatan pertumbuhan oleh satu atau lebih mekanisme efektor; (3) satu atau lebih efektor yang relevan harus mampu masuk ke daerah di mana tumor itu tumbuh; (4) peningkatan kemampuan mekanisme efektor yang relevan akan menurunkan insiden tumor atau metastasis; (5) penekanan mekanisme efektor yang relevan baik oleh karsinogen atau tindakan imunosupresif akan meningkatkan insiden tumor atau metastasis; (6) perbaikan aktivitas efektor yang tertekan akan mengurangi insiden tumor dan metastasis. Walaupun demikian, immune surveillance ternyata tidak selalu efektif. Hal itu dibuktikan dengan seringnya dijumpai tumor lethal pada individu-individu yang imunokompeten. Karena itu, timbul dugaan bahwa respon imun terhadap tumor lemah atau mungkin juga imunogenitas tumor yang lemah.          

IV. IMUNOGENITAS TUMOR
Beberapa karakteristik antigen tumor dan respon imun terhadap tumor yang penting diketahui untuk dapat mengerti tentang imunologi tumor dan mengatur strategi terapi imun untuk kanker, yaitu:
1.      Tumor mengekspresikan antigen yang dikenal sebagai benda asing oleh sistem imun pejamu. Sebagai contoh, secara histologik tumor dikelilingi oleh sel-sel mononuklear yang terdiri atas limfosit T, sel NK, dan makrofag, serta limfosit dan makrofag yang teraktivasi dalam sistem kelenjar getah bening. Adanya infiltrasi limfosit di sekitar sel tumor pada melanoma maligna dan kanker serviks merupakan faktor prediktif untuk prognosis yang lebih baik.
2.      Respon imun sering gagal dalam mencegah pertumbuhan tumor. Beberapa sebab mengapa imunitas anti tumor tidak dapat mengeradikasi sel-sel yang mengalami transformasi adalah:
·         Sel-sel tumor berasal dari pejamu, maka dalam beberapa hal menyerupai sel-sel normal, sehingga hanya sebagian kecil antigen tumor yang dikenal sistem imun sebagai non-self, sehingga bersifat imunogenik lemah. Secara umum tumor yang menimbulkan respon imun kuat adalah tumor yang mengekspresikan antigen asing atau protein yang mengalami mutasi, atau tumor akibat induksi oleh karsinogen poten pada binatang percobaan sehingga menyebabkan mutasi gen normal.
·         Pertumbuhan cepat dan penyebaran tumor melebihi kapasitas sistem imun untuk mengeradikasi tumor.
·         Berbagai tumor mempunyai mekanisme khusus untuk menghindar dari respon imun.
3.      Sistem imun dapat distimulasi untuk membunuh sel-sel tumor secara efektif sehingga dapat mengeradikasi tumor. Kemampuan ini yang digunakan pada terapi imun terhadap tumor.

Walaupun tumor berasal dari jaringan sendiri, tumor pada umumnya mengekspresikan antigen yang dikenal oleh sistem imun sebagai antigen asing. Ekspresi antigen tumor pada umumnya menggambarkan perubahan material genetik  akibat transformasi sel, tetapi mekanisme molekuler yang menghasilkan antigen tumor itu bermacam-macam. Seperti telah disinggung dalam uraian di atas, keasingan antigen tumor disebabkan adanya mutasi dan disregulasi gen yang menyebabkan diproduksinya protein baru (neoantigen) yang tidak pernah diekspresikan dalam keadaan normal, atau pada tumor yang disebabkan virus onkogenik, biasanya diekspresikan protein virus. Produk gen yang mutasi atau yang mengalami disregulasi, maupun produk gen virus dikenal oleh sel T dan sel B sebagai benda asing, karena produk-produk itu tidak pernah dijumpai oleh sel-sel limfosit tersebut pada jaringan sendiri sebelum tumor tumbuh. Mungkin juga produk gen mutant itu diekspresikan dengan kadar yang sangat rendah sehingga tidak dapat menginduksi self-tolerance. Molekul-molekul protein itu dapat merangsang respon imun spesifik atau berfungsi sebagai sasaran bagi sel-sel efektor respon imun non-spesifik, misalnya sel NK.
            Namun demikian, imunogenitas tumor sangat tergantung pada bagaimana tumor itu terbentuk. Berbagai percobaan pada hewan menunjukkan bahwa tumor yang terbentuk akibat karsinogen pada umumnya imunogenik. Spesifisitas dan sifat imunogenitasnya juga tergantung pada potensi karsinogen penyebab transformasi sel dan interaksi karsinogen dengan sel sasarannya, dan tidak tergantung pada sel dari mana tumor itu berasal. Di samping imunogenik, jumlah idiotip antigen pada permukaan tumor ini banyak sekali, walaupun tumor itu terdiri atas satu jenis sel. Di lain pihak, apabila karsinogen yang sama menimbulkan dua jenis tumor primer yang berbeda pada hewan percobaan yang sama, kedua jenis antigen pada permukaan tumor tidak menunjukkan spesifisitas yang sama dan tidak bereaksi silang. Tumor yang terbentuk akibat infeksi retrovirus juga bersifat imunogenik, karena sel yang mengalami transformasi akan memunculkan antigen baru pada permukaannya, yang terbentuk dari antigen virion dan antigen produk gen virus yang berintegrasi dengan gen pejamu. Berbeda dengan tumor yang diinduksi oleh karsinogen kimia, tumor yang diinduksi oleh virus yang sama akan menampilkan antigen permukaan yang sama dan bereaksi silang apapun asal selnya, sedangkan imunogenitas tumor jaringan yang sama akan berbeda apabila masing-masing diinduksi oleh virus yang berbeda. Kanker spontan, yaitu kanker yang timbul akibat mutasi atau transformasi genetik tanpa diketahui penyebab eksternalnya umumnya tidak imunogenik. Kalaupun ada, sifat imunogenitasnya sangat rendah.


V. ANTIGEN TUMOR
Berbagai jenis antigen tumor pada manusia maupun hewan yang dapat dikenali oleh limfosit B dan limfosit T telah banyak teridentifikasi. Pada percobaan mencit digunakan methylcholanthrene (MCA) untuk menginduksi sarkoma dan ternyata ditemukan adanya respon imun pada mencit tersebut. Pada manusia juga telah ditemukan antigen tumor, walaupun tidak terbukti dapat memberikan efek imun protektif. Walaupun demikian hasil identifikasi antigen tumor penting untuk dipakai sebagai komponen vaksin.
Klasifikasi antigen tumor didasarkan pada ekspresinya, yaitu:
1.      Tumor-spcific antigen (TSA) yaitu antigen yang mengalami over-ekspresi pada sel-sel tumor, tetapi tidak pada sel-sel normal. Beberapa antigen ini spesifik atau unik untuk jenis tumor tertentu.
2.      Tumor-associated antigen (TAA) yaitu antigen tumor yang selain diekspresikan oleh sel-sel tumor juga diekspresikan oleh sel-sel tumor.

V.1. Produk gen yang mengalami mutasi
Berbagai antigen tumor diproduksi oleh onkogen mutant dari gen sel-sel normal. Tumor mengekspresikan produk yang diperlukan untuk transformasi ganas atau untuk memelihara fenotif ganas. Produk ini biasanya dihasilkan akibat mutasi titik atau delesi gen, translokasi kromosom atau insersi gen virus pada proto-onkogen atau gen supresor tumor sehingga membentuk onkogen. Produk mereka disintesis dalam sitoplasma sel-sel tumor dan dapat mengikuti jalur kelas I antigen processing dalam antigen presenting cells (APC) yang telah memfagositosis sel-sel tumor mati. Karena produk ini tidak ada dalam sel-sel normal, maka tidak menginduksi self-tolerance, dan peptida yang terbentuk dapat menstimulasi respon sel T pada pejamu.
            Penderita kanker mempunyai CD4+ dan CD8+ yang dapat merespon produk onkogen yang mengalami mutasi seperti Ras, p53, dan Bcr-Abl. Selanjutnya imunisasi dengan protein Ras atau p53 yang mutasi akan menginduksi CTL (cytotoxic T-lymphocyte) dan respon penolakan terhadap tumor yang mengekspresikan mutant. Walaupun demikian, pada beberapa tumor protein ini tidak merupakan target mayor CTL yang spesifik pada pasien.
            Percobaan pada mencit yang diinduksi dengan MCA (methylcholanthrene) sehingga menderita sarkoma membuktikan bahwa bila dilakukan reseksi tumornya kemudian ditransplantasikan kembali pada mencit tersebut, maka tumor tidak akan tumbuh lagi. Sebaliknya, bila sel-sel tumor ditransplantasikan pada mencit syngeneic, tumor akan tumbuh. Selanjutnya bila sel CD8+ yang diisolasi dari mencit pertama disuntikkan pada mencit syngeneic yang bertumor, maka tumor akan menghilang/tereradikasi.

 
Gambar 2. Tikus yang menderita tumor akibat induksi karsinogen kimia (methylcholanthrene=MCA) memperlihatkan penolakan bila sel-sel tumor yang sama ditransplantasikan kepadanya. Sel-sel tumor tersebut tumbuh bila ditransplantasikan ke tikus yang syngeneic. Sel-sel tumor juga ditolak pada tikus yang sudah diberikan limfosit T dari tikus yang menderita tumor tersebut.

V.2. Protein sel normal yang diekspresikan abnormal
Antigen tumor dapat merupakan protein sel normal yang diekspresikan secara abnormal dan menyebabkan respon imun. Contohnya adalah pada melanoma yaitu tirosinase, suatu enzim yang berperan dalam biosintesis melanin yang terdapat dalam melanosit normal. CD8+ CTL MHC kelas I dan CD4+ MHC kelas II akan mengenali peptida yang berasal dari tirosinase.

V.3. Antigen virus onkogenik
Produk virus onkogenik berfungsi sebagai antigen tumor dan menyebabkan respon sel T sehingga dapat mengeradikasi tumor. Contohnya adalah antigen virus EBV dan HPV. Antigen (protein yang disandi oleh virus) ini ditemukan di inti, sitoplasma, dan membran sitoplasma sel-sel tumor. Protein ini diproses dan diekspresikan dengan molekul MHC kelas I pada permukaan sel-sel tumor.

V.4. Antigen onkofetal
Antigen onkofetal merupakan antigen yang ditemukan dalam jumlah banyak pada sel-sel kanker dan jaringan fetal yang berkembang dan tidak ditemukan pada jaringan dewasa normal. Sebagai contoh adalah carcino-embryonic antigen (CEA) dan alpha feto-protein (AFP). CEA (CD66) yang merupakan membran protein yang berintegrasi, dan merupakan keluarga Ig superfamily. CEA juga merupakan molekul adesi intraseluler yang berfungsi mempromosikan ikatan antar sel tumor. CEA normal hanya diekspresikan pada pankreas, usus, dan hati saat usia kehamilan trimester I dan II. Akan tetapi diekspresikan dalam jumlah banyak pada kanker kolon, kanker pankreas, kanker lambung, dan kanker payudara. Alfa feto-protein (AFP) merupakan glikoprotein yang normal disintesis dan disekresikan oleh yolk sac dan hati pada fetus. AFP meningkat secara signifikan pada kanker hati dan tumor sel germinal sehingga dapat dipakai untuk memonitor adanya kekambuhan tumor.

Tabel 1. Contoh tissue specific tumor antigen
 
       ASAL JARINGAN                    TUMOR                                        ANTIGEN
            Limfosit B                   Leukemia sel B dan limfoma              CD10 (CALLA)
                                                                                                            Imunoglobulin
            Limfosit T                   Leukemia sel T dan limfoma               IL-2R (rantai-α)
                                                                                                            TCR, CD45R, CD4+/CD8+   

            Prostat                         Karsinoma prostat                               PSA, PAP
            Neural crest derived    Melanoma                                           S-100
            Sel epitel                     Karsinoma                                           Sitokeratin      
           

VI. RESPON IMUN TERHADAP TUMOR
Pada beberapa penelitian menggunakan hewan percobaan terungkap bahwa mekanisem efektor baik innate/alamiah/non-spesifik maupun adaptif/didapat/spesifik dapat membunuh tumor secara in vitro. Berikut ini akan dibahas berbagai komponen yang berperan dalam mekanisme efektor dan mekanisme mana yang paling relevan untuk tumor.

VI.1. RESPON IMUN INNATE/ALAMIAH/NON-SPESIFIK
Sel-sel efektor yang berperan adalah sel NK (Natural Killer) dan makrofag.

A.    Sel Natural Killer (sel NK)
Sel NK dapat membunuh berbagai jenis sel tumor, terutama sel dengan ekspresi MHC kelas I yang menurun dan dapat menghindari lisis oleh CTL. Sel NK juga merespon ketidakadan MHC kelas I karena adanya molekul MHC kelas I sebenarnya menghantarkan sinyal hambatan ke sel NK. Berbagai tumor yang kehilangan MHC kelas I mungkin disebabkan oleh seleksi CTL terhadap sel-sel dengan ekspresi MHC kelas I. Perubahan imunogenik ini menyebabkan sel tumor menjadi target yang baik bagi sel NK. Sebagai tambahan, sel-sel yang diliputi Fc reseptor Ig G juga merupakan target sel NK. Kemampuan membunuh tumor sel NK meningkat dengan adanya sitokin termasuk interferon, interleukin-2 (IL-2) dan IL-12, serta efek anti tumor sitokin juga berperan dalam stimulasi aktivitas sel NK. Sel NK yang diaktivasi oleh IL-2 disebut sel LAK (lymphokine-activated killer cells) berasal dari kultur sel darah tepi, sedangkan TIL (tumor-infiltrating lymphocytes) berasal dari tumor solid yang diaktivasi dengan dosis tinggi IL-2. LAK digunakan dalam imunoterapi.
Peran sel NK pada imunitas tumor in vivo belum jelas, antara lain membunuh sel tumor secara langsung dan sel-sel yang terinfeksi virus. Diduga mencit dengan defisiensi sel T tidak mengandung tumor spontan karena mereka mempunyai sejumlah sel NK normal yang berperan dalam immune surveillance. Dilaporkan juga pasien dengan defisiensi sel NK mempunyai insiden lebih tinggi menderita limfoma yang dihubungkan dengan infeksi EBV.
Aktivitas sel NK dihambat oleh antigen HLA-G yang apabila diekspresikan oleh sel tumor mengakibatkan sel tumor terhindar dari upaya lisis oleh sel NK. Walaupun antigen HLA-G jarang diekspresikan pada tumor, transkripnya berupa mRNA sering dijumpai pada berbagai jenis tumor sehingga diduga ekspresi antigen HLA-G dikontrol di tingkat pasca transkripsi. Apabila tumor tidak mengekspresikan antigen HLA-G sulit baginya untuk menghindar dari lisis oleh sel NK, sekalipun tumor telah berupaya menghindar dari lisis oleh sel T-sitotoksik dengan tidak mengekspresikan antigen MHC yang lain.
                        Kemampuan sel NK membunuh sel tumor ditingkatkan oleh sitokin termasuk IFN, TNF, IL-2, dan IL-12. Karena itu peran sel NK dalam aktivitas anti tumor bergantung pada sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin tersebut. Ketiga jenis IFN (α, β, dan γ) dapat meningkatkan fungsi sel NK. IFN mengubah pre-NK menjadi sel NK yang mampu mengenal dan melisiskan sel sasaran dan mempermudah interaksi dengan sel sasaran. Sel NK mungkin berperan dalam immune surveillance terhadap tumor yang sedang tumbuh, khususnya tumor yang mengekspresikan antigen virus. Aktivitas sel NK sering dihubungkan dengan prognosis. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa ada korelasi antara penurunan kemampuan sitotoksisitas sel NK dengan peningkatan risiko metastasis. Dari penelitian-penelitian itu disimpulkan bahwa sitotoksisitas alami dapat berperan dalam mencegah pertumbuhan kanker dan metastasis.
                        Yang menarik adalah peran sel NK yang diaktifkan dengan stimulasi IL-2 dalam membunuh sel tumor. Sel-sel itu yang disebut lymphokine activated killer cells (LAK cells) dapat diperoleh in vitro dengan memberikan IL-2 dosis tinggi pada biakan sel-sel limfosit darah perifer atau sel-sel tumor infiltrating lymphocytes (TIL) yang berasal dari penderita kanker. IL-2 berperan dalam menginduksi ekspresi rantai α reseptor IL-2 pada tingkat transkripsi. Hal inilah yang memperkuat kemampuan IL-2 untuk meningkatkan pertumbuhan sel NK. Sel-sel yang diaktifkan oleh limfokin ini (LAK cells) menunjukkan peningkatan aktivitas sitotoksik yang sangat jelas. Besar kemungkinan bahwa sel-sel LAK dapat digunakan di kemudian hari sebagai imunoterapi adoptif. Sel NK juga mempunyai peran penting dalam mencegah metastasis dengan mengeliminasi sel tumor yang terdapat dalam sirkulasi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penelitian. Salah satu di antaranya mengungkapkan bahwa 90-99% sel tumor yang dimasukkan intravena akan hilang dalam 24 jam pertama. Hal ini mempunyai hubungan bermakna dengan jumlah dan aktivitas sel NK. Percobaan menggunakan sel NK yang di-inaktivasi dengan cyclophosphamide (Cy) menunjukkan bahwa sel-sel itu gagal mencegah metastasis.
B.     Makrofag
Makrofag merupakan mediator seluler yang potensial dalam imunitas anti tumor. Beberapa bukti yang mendukung hipotesis itu adalah: (1) makrofag dapat berakumulasi dalam jumlah besar dalam jaringan tumor; (2) makrofag mempunyai kemampuan alami atau bisa diaktifkan untuk melisiskan sel sasaran; (3) penekanan fungsi makrofag dengan berbagai cara misalnya dengan memberikan silica dihubungkan dengan peningkatan insiden tumor dan metastasis; (4) transfer adaptive makrofag yang diaktifkan in vitro maupun in vivo menghambat penyebaran tumor; (5) beberapa jenis karsinogen dapat menekan fungsi retikuloendotelial; (6) stimulasi makrofag dengan berbagai imunomodulator dihubungkan dengan berkurangnya pertumbuhan tumor atau insiden tumor.
Secara in vitro makrofag dapat melisiskan lebih banyak sel-sel tumor dibandingkan dengan sel-sel normal. Mekanismenya melalui pengenalan langsung antigen tumor yang terletak dipermukaan sel dan aktivasi makrofag oleh IFN-γ yang diproduksi oleh sel T spesifik tumor. Makrofag dapat melisiskan sel-sel tumor melalui beberapa mekanisme seperti mekanisme makrofag membunuh organisme infeksius antara lain dengan enzim lisosomal melalui reactive oxygen dan nitric oxide. Makrofag aktif juga memproduksi TNF yang hanya membunuh tumor tetapi tidak membunuh sel-sel tumor. TNF membunuh sel-sel tumor melalui efek toksik langsung yang dimediasi oleh pengikatan TNF ke reseptor sel-sel tumor dan mengaktifkan jalur sinyal yang mengakibatkan terjadinya apoptosis. Sedangkan efek tidak langsung kerja TNF adalah melalui sistem perdarahan tumor yaitu menyebabkan nekrosis tumor dengan jalan menginduksi trombosis pembuluh darah (tumor mengeluarkan faktor yang bekerja pada endotel dan mengakibatkan terjadinya trombosis).

VI.2. RESPON IMUN ADAPTIF/DIDAPAT/SPESIFIK
Sel-sel tumor dapat menginduksi respon imun adaptif/didapat/spesifik, baik respon imun humoral maupun seluler yang muncul secara spontan terhadapnya. Pada beberapa contoh respon imun terhadap tumor, sel T bersifat protektif.

A.    Limfosit T
Limfosit CD8+ atau CTL merupakan sel yang memegang peranan dalam imunitas tumor yaitu dengan cara membunuh sel-sel tumor. Sel T dapat berperan sebagai protektif terhadap tumor. Kemampuan CTL dalam imunitas anti tumor terbukti dalam percobaan binatang yang diinduksi dengan karsinogen atau pada tumor yang terinduksi oleh virus. CTL bertugas mengenali dan membunuh sel-sel tumor yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein sel-sel normal yang mengalami mutasi atau protein virus onkogen yang dipresentasikan dengan bantuan molekul MHC kelas I.
      Selain CTL, sel mononuklear yang berasal dari tumor solid yang disebut TIL (tumor-infiltrating lymphocyte) juga termasuk CTL. Respon CD8+ terhadap antigen tumor memerlukan APC, misalnya sel dendritik. Sel-sel tumor umumnya tidak berasal dari APC sehingga tidak mengekspresikan ko-stimulator yang diperlukan untuk menginisiasi respon sel T atau molekul MHC kelas II yang diperlukan untuk menstimulasi sel T helper dan memulai diferensiasi sel CD8+. Ada kemungkinan bahwa antigen sel tumor ditelan oleh APC dan kemudian diproses dalam APC, sedangkan peptida yang berasal dari antigen tetap ada dan berikatan dengan molekul MHC kelas I agar dikenal oleh CD8+. APC mengekspresikan ko-stimulator yang memberikan sinyal yang diperlukan untuk diferensiasi CD8+ menjadi CTL anti tumor, dan APC mengekspresikan molekul MHC kelas II yang berasal dari antigen tumor dan mengaktifkan CD4+. Proses ini dikenal sebagai cross-presentation atau cross-priming.
      Segera setelah CTL efektor terbentuk, mereka dapat mengenali dan membunuh sel-sel tumor tanpa memerlukan ko-stimulator. Aplikasi dari proses ini digunakan untuk vaksin, dengan cara menumbuhkan sel dendritik pasien kanker dengan APC, dengan sel atau antigen dari tumor, dan menggunakan APC yang sudah terkena antigen sebagai vaksin untuk menstimulasi respon anti tumor sel T.
                        Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-sel itu dapat berperan dalam respon anti tumor dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel efektor. Di samping itu, sel T CD4+ yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF dan IFN-γ yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan sensitifitas tumor terhadap lisis oleh CTL. Ada juga kemungkinan bahwa sel T CD4+ yang spesifik tumor meningkatkan respon DTH terhadap tumor. Sebagian kecil tumor yang mengekspresikan MHC kelas II dapat mengaktivasi sel T CD4+ spesifik tumor secara langsung. Yang lebih sering terjadi adalah APC profesional yang mengekspresikan molekul MHC kelas II mem-fagositosis, memproses, dan menampilkan protein yang berasal dari sel-sel tumor yang mati kepada sel T CD4+ sehingga terjadi aktivasi sel-sel tersebut.

 
Gambar 3. Sel T CD8+ berespon terhadap tumor dapat diinduksi oleh pengenalan silang (cross-priming), di mana sel-sel tumor atau antigen tumor diambil, diproses, dan dipresentasikan kepada sel T oleh sel-sel yang mempresentasikan antigen (antigen-presenting cells=APCs). Pada beberapa kasus, ko-stimulator B7 yang diekspresikan oleh APCs memungkinkan sinyal kedua kepada sel T CD8+. APC juga menstimulasi sel T-helper CD4+ yang memungkinkan sinyal kedua untuk limfosit T-sitolitik (CTL). CTL membunuh sel-sel tumor tanpa memerlukan ko-stimulator atau sel T-helper.


B.     Antibodi
Antibodi mungkin kurang penting dibanding sel T dalam mekanisme efektor terhadap tumor, tetapi seperti telah diuraikan sebelumnya, penderita kanker dapat memproduksi antibodi terhadap berbagai antigen tumor, bahkan antibodi itu bersifat spesifik misalnya antibodi terhadap EBV pada tumor yang disebabkan oleh EBV. Pasien dengan limfoma yang berhubungan dengan infeksi EBV, dalam serumnya ditemukan antibodi terhadap antigen yang disandi EBV yang diekspresikan pada permukaan sel limfoma. Antibodi membunuh sel-sel tumor dengan cara mengaktivasi komplemen atau dengan cara antibody-dependent cytotoxicity (ADCC), di mana makrofag dan sel NK yang mempunyai reseptor Fc akan memperantarai mekanisme ini. Sayang sekali kemampuan membunuh sel-sel tumor umumnya hanya ditemukan secara in vitro dan pada keadaan sebenarnya hanya sedikit dilaporkan mengenai efektifitas imunitas humoral terhadap tumor.

VII. KEGAGALAN IMMUNE SURVEILLANCE
Walaupun tumor ganas mengekspresikan antigen tumor yang bersifat asing (imunogenik) bagi pejamu dan immune surveillance mungkin dapat membatasi pertumbuhan beberapa jenis tumor, yang jelas belum ada bukti bahwa sistem imun dapat mencegah pertumbuhan tumor ganas. Penjelasan yang sederhana adalah bahwa kemungkinan kecepatan pertumbuhan dan penyebaran tumor ganas melebihi kemampuan mekanisme efektor respon imun untuk mencegah pertumbuhan itu. Jadi kegagalan immune surveillance merupakan kegagalan mekanisme efektor sistem imun pejamu. Beberapa kegagalan faktor pejamu yang telah disebut sebelumnya adalah imunodefisiensi terutama defek pada sel T CD8+ yang secara intrinsik tidak mampu memberikan respon normal, produksi berlebihan prostaglandin oleh monosit, di antara limfosit yang menginfiltrasi jaringan tumor (TIL) terdapat banyak sel T supresor, terjadinya imunotoleransi, dan faktor genetik. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa inefektifitas sel T yang menginfiltrasi tumor, selain disebabkan oleh adanya sel T supresor dalam TIL juga disebabkan lingkungan mikro dalam tumor tidak mendukung fungsi sel limfosit tetapi sebaliknya menyebabkan paralisis sel-sel tersebut.
            Suatu penelitian yang dilakukan oleh Ling dkk. mengungkapkan bahwa pada penderita kanker ginjal terdapat defek pada NFkB sel T. Molekul NFkB adalah suatu faktor transkripsi yang diperlukan untuk transduksi sinyal pertumbuhan ke nukleus. Gangguan pada faktor transkripsi mengakibatkan gangguan fungsi transduksi sinyal yang menurut penelitian ini disebabkan oleh terganggunya proses fosforilasi. Walaupun belum diketahui pasti penyebabnya, para peneliti menduga bahwa produk tumor merupakan mediator utama terjadinya gangguan fungsi transduksi sinyal pada sel T ini. Defek sel T juga tampak pada limfosit yang berasal dari penderita berbagai jenis tumor lain dan ditunjukkan oleh penurunan ekspresi reseptor TCR dan p561ck yang diperlukan untuk transduksi sinyal aktivasi. Di samping kegagalan yang disebabkan oleh faktor pejamu, banyak tumor yang memiliki kemampuan untuk mengelak dari respon imun, dan proses pengelakan itu yang disebut tumor escape dapat terjadi melalui beberapa mekanisme seperti yang akan diuraikan selanjutnya.

   
Gambar 4. Imunitas anti tumor berkembang ketika sel T mengenal antigen tumor dan diaktifkan. Sel-sel tumor dapat menghindar dari respon imun dengan melepaskan ekspresi antigen atau molekul MHC atau dengan memproduksi sitokin imunosupresi.

VII.1. Penurunan ekspresi MHC kelas I
Ekspresi MHC kelas I dan MHC kelas II (untuk tumor-tumor tertentu) sering berkurang pada tumor, bahkan ada tumor yang tidak mengekspresikan MHC sehingga tidak mampu membentuk kompleks MHC-peptida yang merupakan persyaratan untuk dikenal oleh CTL. Kompleks MHC-peptida dibentuk dalam endoplasmic reticulum (ER) dengan bantuan kompleks proteasome multikatalitik dan berbagai protease. Banyak komponen intraseluler lain yang terlibat dalam pemrosesan antigen tumor, di antaranya berbagai ko-faktor seperti tapacin, calnexin, calreticulin, dan lain-lain yang secara keseluruhan semua komponen yang terlibat disebut mesin pemroses antigen (antigen processing machinery). Adapun fungsi ko-faktor adalah: (1) meningkatkan aktivitas penignkatan peptida; (2) menstabilkan MHC saat pembentukannya atau saat membentuk ikatan; (3) memudahkan pemuatan (loading) peptida pada MHC. Apabila ada defek pembentukan MHC kelas I dan defek mesin pemroses antigen seperti yang sering dijumpai pada berbagai jenis tumor, tumor tidak dikenal oleh CTL sehingga terhindar dari lisis.
            Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa peningkatan ekspresi MHC kelas I pada sel tumor meningkatkan kepekaan tumor terhadap lisis oleh CTL in vitro dan penurunan tumorigenesis in vivo. Transfeksi gen MHC kelas I kepada sel tumor menurunkan kemampuan tumor untuk tumbuh bila ia ditransplantasikan kepada hewan yang sehat. Virus terbukti mampu menurunkan ekspresi MHC kelas I dan pembentukan kompleks MHC-peptida sehingga virus menghambat presentasi antigen tumor kepada CTL. Contoh mekanisme ini diperlihatkan oleh endovirus E1A yang menghambat transkripsi MHC kelas I. walaupun bukti-bukti in vitro mendukung mekanisme down regulation MHC ini, belum dapat dibuktikan adanya hubungan yang jelas secara in vivo. Makin lama makin banyak bukti yang mendukung bahwa sel T CD4+ mempunyai peran dalam aktivitas anti tumor. Sel T CD4+ dapat menyebabkan efek langsung pada tumor dengan mensekresi IFN-γ dan TNF-α. Sebagian antigen tumor diekspresikan oleh MHC kelas II sehingga dikenal oleh sel T CD4+, misalnya p53 melalui HLA-DR1, MUC-1 melalui HLA-DR3, produk HPV yaitu E7, dan HER-2/neu melalui HLA-DR4, dan ras melalui HLA-DQ. Karena itu kegagalan dalam pembentukan MHC kelas II pada tumor-tumor tertentu berperan dalam kegagalan immune surveillance.

VII.2. Ketidakmampuan tumor mengaktivasi CTL
Tumor yang mengekspresikan kompleks peptida-MHC kelas I yang dikenal oleh CTL ada kalanya gagal mengaktivasi CTL bersangkutan. Kemungkinan pertama adalah karena sebagian besar tumor manusia tidak mengekspresikan MHC kelas II sehingga tidak dapat secara langsung merangsang sel T CD4+ yang spesifik tumor. Seperti telah diuraikan sebelumnya, aktivitas anti tumor pada CTL tampaknya sebagian bergantung pada sinyal yang dilancarkan oleh sel T CD4+. Bila tumor tidak mengekspresikan MHC kelas II atau bila APC profesional tidak menginfiltrasi tumor secara adekuat, pengambilan dan presentasi antigen tumor serta aktivasi sel T CD4+ tidak akan terjadi. Kemungkinan kedua adalah tidak adanya molekul ko-stimulator pada permukaan sel tumor yang fungsinya adalah memberikan sinyal kedua untuk aktivasi sel T CD4+. Aktivasi sel CTL memerlukan ko-stimulasi melalui molekul ko-stimulator seperti B7-1 atau B7-2, padahal molekul-molekul itu seringkali tidak ada pada permukaan sel tumor. Presentasi antigen kepada sel T tanpa disertai ko-stimulator dapat menginduksi toleransi perifer pada limfosit T spesifik tumor.

VII.3. Produksi substansi yang menekan respon anti tumor
Sel-sel tumor dapat memproduksi substansi yang menekan respon imun. Salah satu produk yang menekan respon anti tumor adalah transforming growth factor-β (TGF-β) yang diproduksi dalam jumlah berlebihan oleh berbagai jenis tumor dan menghambat fungsi limfosit dan makrofag. Beberapa jenis tumor mensekresi IL-10 yang juga menghambat fungsi makrofag dan beberapa jenis tumor yang lain secara spontan mengekspresikan FasL (Fas ligand). Pengikatan FasL pada molekul Fas yang terdapat pada permukaan limfosit dapat menyebabkan kematian limfosit (apoptosis). Namun jenis tumor yang mengekspresikan FasL hanya sedikit.

VII.4. Toleransi
Seseorang mungkin menunjukkan toleransi terhadap antigen tumor tertentu akibat pemaparan pada masa neonatal atau tumor mengekspresikan antigen dalam bentuk tolerogenik. Toleransi dapat muncul karena antigen tumor adalah self antigen yang ditemukan oleh sistem imun yang sedang berkembang atau karena antigen sel tumor bersifat tolerogenik terhadap limfosit matur. Salah satu contoh bahwa pemaparan yang terjadi pada masa neonatal dapat menimbulkan toleransi adalah terjadinya tumor yang disebabkan murine mammary tumor virus pada mencit dewasa yang pernah terpapar pada virus bersangkutan pada masa neonatal karena menyusu. Contoh lain diperlihatkan oleh mencit transgenik yang mengekspresikan genom virus SV40 sebagai transgen. Bila ekspresi genom SV40 itu terjadi pada awal kehidupan, mencit tersebut menunjukkan toleransi sehingga insiden tumor pada mencit-mencit itu tinggi. Berbeda halnya dengan mencit transgenik SV40 lain yang mengekspresikan genom SV40 pada usia lebih tua. Mencit-mencit ini tidak menunjukkan toleransi terhadap SV40 dan insiden tumor pada mencit-mencit itu rendah.


VII.5. Resistensi tumor
Kinetik pertumbuhan tumor dapat menghasilkan tumor yang resisten terhadap mekanisme respon imun sebelum respon imun yang efektif terbentuk. Dugaan ini muncul pada percobaan transplantasi tumor. Transplantasi sejumlah kecil sel tumor menyebabkan tumbuhnya tumor lethal, sedangkan transplantasi dengan jumlah besar sel tumor ditolak. Penjelasan untuk fenomena yang kontradiktif ini adalah bahwa jumlah sel yang sedikit tidak cukup untuk merangsang respon imun, dan pada waktu banyak sel tumor tumbuh, bisa terjadi mutasi pada gen antigen yang mengurangi kemungkinan pengenalan tumor oleh sistem imun.
     Resistensi tumor terhadap apoptosis yang diperantarai Fas juga merupakan komponen penting pengelakan tumor terhadap sistem imun. Seperti diketahui Fas adalah reseptor penginduksi kematian. Salah satu hal yang mungkin berkaitan dengan resistensi tumor terhadap Fas adalah mutasi pada onkogen dan/atau gen supresor. Mutasi pada p53 dapat menekan terjadinya apoptosis termasuk kelemahan sinyal Fas. Selain itu, protein fusi Bcr-Abl yang diekspresikan pada leukemia limfositik kronik dan onkogen Abl sendiri, seperti halnya mutasi pada c-myc dapat menghalangi sinyal Fas dan mengakibatkan sel ganas itu resisten terhadap apoptosis yang diperantarai oleh Fas. Di lain pihak ada bukti-bukti bahwa berbagai jenis sel ganas dapat mengekspresikan FasL pada permukaannya yang apabila berikatan dengan Fas yang terdapat pada permukaan sel limfosit akan mengakibatkan kematian sel limfosit. Dengan demikian, sel ganas tidak saja resisten terhadap apoptosis yang diinduksi oleh CTL tetapi juga dapat melakukan serangan balik terhadap respon imun dengan mengakibatkan kematian sel T.

VII.6. Antigen masking
Antigen permukaan sel tumor dapat ‘disembunyikan’ dari sistem imun karena dilapisi oleh molekul glikokaliks, termasuk mukopolisakarida yang mengandung asam sialat. Sel-sel tumor dapat memproduksi glikokaliks dalam jumlah lebih besar dibanding sel normal. Sel-sel tumor juga dapat menutupi diri dari sistem imun dengan mengaktifkan sistem koagulasi dan bersembunyi dalam ‘kepompong’ fibrin.

VIII. PENUTUP
Sel-sel kanker muncul sebagai akibat dari adanya suatu mutasi. Umumnya, pada permukaan sel tersebut akan terekspresi suatu protein asing yang dapat memicu respon imun baik respon imun humoral maupun respon imun seluler. Namun, sebagian besar tumor memiliki sifat imunogenik yang lemah sehingga respon imun sering kali gagal mencegah pertumbuhan tumor. Antigen-antigen tumor dapat dikenali oleh CTL, hal yang merupakan target penting untuk mekanisme imunitas anti tumor. Antigen-antigen ini meliputi onkogen dan protein-protein seluler lainnya yang mengalami mutasi, protein normal yang mengalami disregulasi atau peningkatan ekspresi pada sel-sel tumor, dan produk onkogenik dari virus. Respon imun yang mampu membunuh sel-sel tumor meliputi CTL, sel-sel NK, dan makrofag. Namun, mekanisme efektor dalam melindungi individu terhadap tumor belum jelas. Selain itu, tumor dapat menghindari respon imun melalui beberapa mekanisme, meliputi kurangnya ekspresi molekul MHC, sel-sel tumor tidak mengekspresikan antigen tumor, sel-sel tumor menghasilkan materi yang menekan respon imun, dan menginduksi toleransi terhadap antigen tumor.

DAFTAR PUSTAKA:
1.     Abbas AK, Lichtman AH. Immunity of tumor in: Cellular and molecular immunology. 5th edition. Saunders-Elsevier. Philadelphia. 2010: 391-403.
2.   Campoli M, Ferrone S, Zea AH, Rodrigues PC, Ochoa AC. Mechanism of tumor evasion in: Khleif S. ed. Tumor immunology and cancer vaccines. Kluwer Academic Publishers. New York. 2005: 61-78.
3.    Kresno SB. Imunologi tumor dalam: Ilmu onkologi dasar. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 2010: 161-179.
4.    Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Disease of the immune system in: Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th edition. Saunders-Elsevier. Philadelphia. 2010: 107-119.
5.    Modjtahedi H, Clarke A. The immune system in: Gabriel J. ed. The biology of cancer. 2nd ed. John Willey & Sons Ltd. England. 2007: 79-98.
6.   Suwiyoga K. Imunologi tumor dalam: Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB. Eds. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Edisi I. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2006: 79-92.